Rabu, 25 Desember 2013

Belajar Tanpa Paksaan Pangkal Kesuksesan Siswa

Belajar Tanpa "Paksaan" Pangkal Kesuksesan Siswa

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba story blog Sampoerna Foundation

Masa-masa paling potensial menyebabkan stress bagi suswa baru saja berlalu. Masa Ujian Akhir Semester, Final Test, Evaluasi Hasil Belajar (EHB), atau apapun namanya dianggap sebagai saat yang cukup menyiksa bagi sebagian besar siswa dari mulai Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan yang sudah menjadi mahasiswapun masih banyak yang menganggap demikian. Malah ditemukan cukup banyak kasus bunuh diri pada siswa yang gagal menempuh ujian sekolahnya.

Mengapa masa ujian sekolah dianggap sebagai pemicu stress siswa?

Pada periode itu, siswa ternyata mengalami puncak 'paksaan' dari pihak sekolah, dan juga orang tua, dimana dia harus menghadapi serangkaian ujian/tes intelektual untuk menguji apakah dia sudah menyerap dengan baik materi yang diajarkan di sekolah sebagai syarat naik kelas/lulus. Lalu?

Pertanyaan 'lalu' itu maksudnya tentu, apakah jika nilai akademik yang didapat siswa tersebut baik misalnya, apakah itu menjamin keberhasilan atau kesuksesan siswa tersebut? Apa kabar dengan siswa yang mendapat nilai baik dari hasil mencontek atau berbuat curang dengan cara membeli bocoran soal, misalnya? Sukseskah mereka dengan nilai baiknya tersebut? Sukses berbuat jahat di masa muda sih iya.

OK. Itu hanya salah satu contoh 'paksaan' yang harus dihadapi siswa-siswa kita, anak-anak bangsa. Ujian, tes, dan entah apa lagi namanya. Keterpaksaan itu juga yang akhirnya seperti menggiring mereka berbuat curang.

Paling tidak, ada 2 contoh paksaan lagi yang harus dihadapi siswa sepanjang masa sekolahnya yang harusnya indah, menyenangkan, dan mengesankan. Kedua contoh itu bernama 'kurikulum wajib' dan 'kesamaan'.

Contoh kasus kurikulum itu seperti ini. Ada anak yang lemah dalam matematika. Tapi kurikulum di kelas 5 SD mengharuskannya belajar tentang luas bangun dua dimensi dan volume bangun ruang. Membayangkan bangun-bangun tersebut berikut menghafal sekian banyak rumus luas dan volume menjelang ujian sudah membuatnya stress. Terus, bagaimana bisa dia mengerjakan soal-soal ujiannya dengan senang hati? Bagaimana dia harus bersaing dengan terpaksa, dengan teman-temannya yang senang matematika atau dengan yang tekun belajar matematika? Mengapa dia harus dipaksa belajar matematika, sementara dia bisa memperdalam belajar main musik di saat yang sama, dengan menyisipkan matematika dalam bentuk yang lebih menyenangkan, dan dengan kurikulum yang lebih berguna bagi cita-citanya untuk jadi pemusik handal kelak?

Sejujurnya, saya sendiri masih sering heran hingga sekarang. Apa gunanya ya belajar kalkulus diferensial integral rangkap 3 bagi mahasiswa yang bukan anak jurusan teknik pemrograman komputer? Bukankah nanti di dunia kerja, kita tinggal meng-entry data lalu komputer yang mengolahnya? Seberapa penting kita harus mengetahui asal muasal rumus itu tercipta berikut turunan-turunannya? Habis ujian juga lupa lagi. Betul kan? Mengapa tidak diperbanyak saja ilmu-ilmu spesifik yang dibutuhkan oleh mahasiswa jurusan tersebut sehubungan dengan dunia kerjanya kelak?

Contoh paksaan ketiga adalah kasus kesamaan. Parahnya tanpa disadari ini sudah terjadi bahkan di tingkat Taman Kanak-Kanak (TK). Matahari warnanya kuning atau merah. Mengapa tidak boleh biru muda? Bisa jadi dalam imajinasi si anak, matahari bisa berwarna biru muda jika tertutup awan biru.

Contoh tentang kesamaan ini misalnya juga pada kasus berikut. Seorang siswa SD mendapat nilai PR yang buruk ketika dia dianggap salah oleh gurunya dalam menjawab pertanyaan, "Apa yang dilakukan ayah dan ibu di hari Minggu?"

Anak itu menjawab, "Ayah mengisi pengajian dan ibu pergi ke salon". Mengapa dianggap salah? Padahal kan mungkin saja memang itu yang dilakukan orang tua anak tersebut di hari Minggu.

Mau tahu jawaban yang betul menurut versi sang guru? "Ayah membaca koran dan ibu memasak di dapur". Astaga!

Eh, saya kira ini cuma sepenggal cerita lalu versi anak sekolah zaman orde baru lho. Ternyata oh ternyata ya, sampai sekarang masih ada kasus seperti ini. Untunglah, anak-anak saya tidak pernah mengalaminya.

OK, contoh-contoh yang saya paparkan di atas mungkin sifatnya kasuistik. Tapi ada dan nyata. Jadi pada intinya, masih banyak "paksaan" yang mengintimidasi anak-anak kita dalam masa belajarnya, yang termasuk dalam proses tumbuh kembangnya untuk kelak dia bisa jadi manusia yang berhasil. Dan itu bahkan dimulai di bangku TK hingga universitas. Apakah mereka bisa melewati masa-masa tersebut dengan baik? Lalu keberhasilan macam apa yang diharapkan jika model pendidikannya saja seperti itu?

Saya sangat meyakini bahwa sesuatu yang negatif sulit menghasilkan sesuatu yang positif. Please, ini bukan perkalian dimana negatif dikalikan negatif adalah posituf ya. Tapi paksaan, apapun bentuknya, adalah negatif. Paksaan sulit akan menghasilkan sesuatu yang baik. Tak kurang, paksaan atau pemaksaan kehendak hanya akan menekan siswa, bahkan menjerumuskan mereka pada hal-hal yang buruk pula.

Kita pasti pernah merasakan tidak enaknya berada di posisi mereka. Kita tentu tak ingin membuat mereka merasakan hal itu. Ayolah, kita pasti bisa membuat kurikulum, sistem penilaian, atau metode belajar yang lebih menyenangkan tanpa kehilangan konten yang berkualitas bagi mereka, calon-calon pemimpin bangsa ini di masa depan. Mari fokuskan pada pembangunan karakter, penguatan kompetensi, pemahaman materi yang bisa menambah wawasan dan ilmu mereka (bukan hanya sebatas nilai akademik).

Perlu ada kerjasama antara pemerintah, para teknokrat dan pemerhati pendidikan, pihak sekolah dan lembaga pendidikan, para profesional, orang tua, dan semua pihak untuk terus memperbaiki sistem dan kualitas pendidikan di Indonesia. Pasti ada ide-ide kreatif tentang bagaimana menguji kompetensi siswa tanpa harus membuat mereka stress. Pasti banyak cara untuk membuat kurikulum yang tepat guna berikut pedoman metode kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan. Dan pasti banyak cara untuk menjadi guru dan orang tua kreatif dan berwawasan luas, sehingga bisa menciptakan atmosfer belajar yang bebas paksaan tapi mendorong siswa menjadi pembelajar seumur hidup. Nah, ini lhooo tipe manusia sukses.

Sungguh, pasti ada dan pasti bisa. Asal kita mau. Saya yakin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar