Minggu, 25 Maret 2018

Nabi Dzulkifli Yang Menepati Janjinya



Sebagian ahli sejarah mengatakan nama aslinya adalah Basyar putra Ayyub as. Ia menjabat sebagai raja setelah menggantikan seorang raja yang sudah sangat tua. Dia berdomisili di Syam. Penduduk Damaskus menuturkan bahwa Dzul Kifli dimakamkan di sebuah bukit, tempat yang dimuliakan yang diberi nama bukit Qasiyun.
Sebelum menjadi raja, Dzulkifli diberikan beberapa syarat oleh raja pendahulunya, yaitu sanggup puasa di siang hari, beribadah di malam hari (qiyamul lail), dan tidak akan marah-marah. Dzulkifli menyanggupinya, maka jadilah ia raja. Wah padahal syaratnya berat banget ya.
            Suatu hari ada setan datang ke rumahnya pada malam hari. Ia menyamar sebagai rakyatnya yang minta dibereskan urusannya. Karena ia lelah, Dzulkifli mewakilkan urusannya kepada wakilnya. Namun setan itu memaksanya turun langsung. Hebatnya beliau tidak marah.
            Suatu hari rakyatnya diperangi oleh tentara kafir. Rakyatnya ketakutan, karena mereka sebetulnya takut mati. Mereka mengadu kepada beliau.
Hebatnya, beliau tidak marah. Beliau hanya berdoa kepada Allah, memohon diberi petunjuk terbaik. Karena kesabarannya, Allah mengabulkan permohonan beliau.
Ibnu Katsir menulis, “Penyebutan beliau (Dzul Kifli) dalam al-Qur’an dengan pujian serta bersamaan dengan para nabi ini, secara dhahir (literal) menandakan beliau adalah seorang nabi Allah. Inilah pendapat yang masyhur.”[1]
Al-Qur’an hanya menyebutkan nama Dzul Kifli saja dalam golongan para nabi. Adapun tentang dakwah, risalah, dan kaum di mana beliau diutus kepada mereka, al-Qur’an tidak menuturkan sedikitpun, baik secara global maupun spesifik. Satu hal yang penting kita perhatikan berkenaan dengan sejarah Dzul Kifli, adalah Dzul Kifli yang disebutkan dalam al-Qur’an berbeda dengan al-Kifli yang disebutkan dalam hadis. Redaksi hadis tersebut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi yang bersumber dari Ibnu Umar adalah sebagai berikut:
Ibnu Umar berkata, “Al-Kifli adalah orang bani Isra’il yang tidak menjauhi perbuatan dosa. Konon, seorang wanita mendatanginya, lalu dia memberinya enam puluh dinar asal dia boleh menyetubuhinya. Ketika dalam posisi bersetubuh, tiba-tiba wanita itu gemetar dan menangis. Al-Kifli bertanya, “Kenapa engkau menangis? Apakah aku memaksamu?” “Tidak, tapi ini adalah perbuatan yang sama sekali belum pernah aku lakukan. Kebutuhan hidup telah memaksaku melakukan ini.” jawabnya. Al-Kifli berkata, “Apakah engkau melakukan ini, padahal engkau belum pernah melakukannya sama sekali?” Kemudian dia  turun (dari posisi semula) sambil berkata, “Pulanglah dengan membawa uang dinar milikmu.”
Kemudian Ibnu Umar berkata,  “Demi Allah, setelah kejadian itu al-Kifli tidak melakukan maksiat lagi selamanya.” Pada malam harinya al-Kifli meninggal dunia. Di pintunya tertulis, “Sungguh, Allah telah mengampuni al-Kifli.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Ibnu Katsir berkata, “Hadis di atas diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Tirmidzi berkata, ‘Hadis hasan.’ Hadis ini diriwayatkan secara marfu’ dari Ibnu Umar. Sanadnya  bermasalah. Jika hadis tersebut makhfudh, maka yang dimaksud al-Kifli di sana bukanlah Dzul Kifli. Redaksi hadis ini menyebutkan kata al-Kifli tanpa diidhafahkan (pada kata “dzu”). Jadi, al-Kifli di sini adalah orang lain yang berbeda dengan Dzul Kifli yang ada dalam al-Qur’an…”[2]
Sebagian sejarawan menyatakan, Dzul Kifli menanggung anak-anak kaumnya untuk mencukupi kebutuhan mereka dan memutuskan permasalahan mereka dengan adil. Karena itu dia diberinama Dzul Kifli. Mereka menyebutkan sebagian kisah-kisah yang berkaitan dengan pendapatnya itu. Namun, kisah-kisah ini perlu diteliti, diuji, dan diselidiki. Karena itu, kami tidak menaruh perhatian untuk mengulas kisah-kisah tersebut, mengingat sudah tercukupi dengan beberapa riwayat yang shahih. Allahlah yang memberi pertolongan dan petunjuk pada jalan yang benar.

Ayat-ayat yang menyebutkan Nabi Dzulkifli as:
QS Shad 48, Al Anbiyaa 85-86.


[1] Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid I, hlm. 211; dan Tarikh At-Thabari, Jilid I, hlm. 464.
[2] Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid I, hlm. 211.