Sebagian
ahli sejarah mengatakan nama aslinya adalah Basyar putra Ayyub as. Ia menjabat
sebagai raja setelah menggantikan seorang raja yang sudah sangat tua. Dia
berdomisili di Syam. Penduduk Damaskus menuturkan bahwa Dzul Kifli dimakamkan
di sebuah bukit, tempat yang dimuliakan yang diberi nama bukit Qasiyun.
Sebelum
menjadi raja, Dzulkifli diberikan beberapa syarat oleh raja pendahulunya, yaitu
sanggup puasa di siang hari, beribadah di malam hari (qiyamul lail), dan tidak
akan marah-marah. Dzulkifli menyanggupinya, maka jadilah ia raja. Wah padahal
syaratnya berat banget ya.
Suatu hari ada setan datang ke
rumahnya pada malam hari. Ia menyamar sebagai rakyatnya yang minta dibereskan
urusannya. Karena ia lelah, Dzulkifli mewakilkan urusannya kepada wakilnya.
Namun setan itu memaksanya turun langsung. Hebatnya beliau tidak marah.
Suatu hari rakyatnya diperangi oleh
tentara kafir. Rakyatnya ketakutan, karena mereka sebetulnya takut mati. Mereka
mengadu kepada beliau.
Hebatnya, beliau tidak marah. Beliau hanya berdoa kepada
Allah, memohon diberi petunjuk terbaik. Karena kesabarannya, Allah mengabulkan
permohonan beliau.
Ibnu Katsir menulis, “Penyebutan beliau (Dzul Kifli)
dalam al-Qur’an dengan pujian serta bersamaan dengan para nabi ini, secara
dhahir (literal) menandakan beliau adalah seorang nabi Allah. Inilah pendapat
yang masyhur.”[1]
Al-Qur’an hanya menyebutkan nama Dzul Kifli saja dalam
golongan para nabi. Adapun tentang dakwah, risalah, dan kaum di mana beliau
diutus kepada mereka, al-Qur’an tidak menuturkan sedikitpun, baik secara global
maupun spesifik. Satu hal yang penting kita perhatikan berkenaan dengan sejarah
Dzul Kifli, adalah Dzul Kifli yang disebutkan dalam al-Qur’an berbeda dengan
al-Kifli yang disebutkan dalam hadis. Redaksi hadis tersebut yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi yang bersumber dari Ibnu Umar adalah sebagai
berikut:
Ibnu Umar berkata, “Al-Kifli adalah orang bani Isra’il
yang tidak menjauhi perbuatan dosa. Konon, seorang wanita mendatanginya, lalu
dia memberinya enam puluh dinar asal dia boleh menyetubuhinya. Ketika dalam
posisi bersetubuh, tiba-tiba wanita itu gemetar dan menangis. Al-Kifli
bertanya, “Kenapa engkau menangis? Apakah aku memaksamu?” “Tidak, tapi ini
adalah perbuatan yang sama sekali belum pernah aku lakukan. Kebutuhan hidup
telah memaksaku melakukan ini.” jawabnya. Al-Kifli berkata, “Apakah engkau
melakukan ini, padahal engkau belum pernah melakukannya sama sekali?” Kemudian
dia turun (dari posisi semula) sambil
berkata, “Pulanglah dengan membawa uang dinar milikmu.”
Kemudian Ibnu Umar berkata, “Demi Allah, setelah kejadian itu al-Kifli
tidak melakukan maksiat lagi selamanya.” Pada malam harinya al-Kifli meninggal
dunia. Di pintunya tertulis, “Sungguh, Allah telah mengampuni al-Kifli.” (HR.
At-Tirmidzi dan Ahmad)
Ibnu Katsir berkata, “Hadis di atas diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi. Tirmidzi berkata, ‘Hadis hasan.’ Hadis ini diriwayatkan secara
marfu’ dari Ibnu Umar. Sanadnya
bermasalah. Jika hadis tersebut makhfudh,
maka yang dimaksud al-Kifli di sana
bukanlah Dzul Kifli. Redaksi hadis ini menyebutkan kata al-Kifli tanpa
diidhafahkan (pada kata “dzu”). Jadi, al-Kifli di sini adalah orang lain yang
berbeda dengan Dzul Kifli yang ada dalam al-Qur’an…”[2]
Sebagian sejarawan menyatakan, Dzul Kifli menanggung
anak-anak kaumnya untuk mencukupi kebutuhan mereka dan memutuskan permasalahan
mereka dengan adil. Karena itu dia diberinama Dzul Kifli. Mereka menyebutkan
sebagian kisah-kisah yang berkaitan dengan pendapatnya itu. Namun, kisah-kisah
ini perlu diteliti, diuji, dan diselidiki. Karena itu, kami tidak menaruh
perhatian untuk mengulas kisah-kisah tersebut, mengingat sudah tercukupi dengan
beberapa riwayat yang shahih. Allahlah yang memberi pertolongan dan petunjuk
pada jalan yang benar.
Ayat-ayat
yang menyebutkan Nabi Dzulkifli as:
QS Shad
48, Al Anbiyaa 85-86.