Kamis, 11 April 2013

(Old Post) : Jane Austen, sang Novelis Visioner



            Anda pernah baca “Pride and Prejudice” atau “Sense and Sensibility”? waduh, jangan-jangan denger namanya aja belum pernah lagi. Hehehe. Itu adalah dua dari sekian karya legendaris novelis asal Inggris ini. Jane Austen, nama penulis jenius ini, biasa mengambil setting ceritanya di pedesaan Inggris, menceritakan masyarakat menengah ke atas pedesaan yang tidak tersentuh hiruk pikuk politik Eropa yang saat itu lagi kacau-kacaunya.
            Dia lahir tanggal 16 desember 1775 di Stevenson, Hampshire, Inggris. Dua puluh lima tahun kehidupan pertamanya dilewatkan di rumahnya di desa, dimana ayahnya, george Asuten, menjadi kepala pendeta di gereja di Hampshire. Ia punya lima saudara lelaki dan seorang kaak perempuan yang amat dekat dengannya.  Jane dan kakak perempuannya nyaris tak pernah tinggal terpisah dari keluarga. Mereka hanya sesekali meninggalkan rumah untuk berlibur, dan itupun nggak lama-lama.
            Jane dan kakak perempuannya sempat memasuki pendidikan berasrama khusus untuk anak gadis. Tapi selebihnya, mereka lebih banyak dididik di rumah. Kehidupannya penuh dengan aturan dan batasan.
            Kedua kakak lelakinya kemudian bergabung dengan Dinas Angkatan laut Inggris, untuk membendung serangan Napoleon terhadap negeri itu. Sejak saat itu, Jane dan keluarga mengalami hidup berpindah-pindah dari satu rumah desa ke rumah desa yang lain. Mereka sempat menetap agak lama di Rath, hingga ayahnya meninggal tahun 1805.
            Setelah itu, Jane bersama ibu dan kakak perempuannya kembali ke Hampshire dan meentap di Southampton. Namun pada tahun 1809, kakak lelakinya WEdward, mengundang mereka untuk tinggal bersamanya. Sejak kecil Edward diangkat anak oleh sepasang suami istri kaya, keluarga Knights. Dari sini ia mewarisi sebuah rumah besar di daerah Chawton. Selama delapan setengah tahun tinggal di Chawton inilah, produktivtas Jane dalam menulis sangat meningkat.
            Jane menulis sejak usia muda, karena ia mencintai kesusastraan. Ia suka membaca buku-buku yang terdapat di perpustakaan pribadi ayahnya. Ia juga suka main drama bersama saudara-saudaranya. Pada awal usia dua puluhan ia menulsi narasinya yang kemudian menjadi sangat terkenal, yaitu Pride and Prejudice, Sense and Sensibility, dan Northanger Abbey.
            Novel Sense and Sensibility sendiri mengulas tentang berbagai keterbatasan yang dialami oleh para perempuan Inggris masa itu, untuk lebih bebas menyatakan keingainan dan menentukan hidupnya sendiri. Karyanya juga memaparkan gaya hidup kalangan terhormat (bangsawan, tuan tanah, pemilik manor/rumah besar, nyaris seperti istana di desa) masa itu, terutama kehidupan kontemporer kaum perempuan itu sendiri. Tak heran novelnya mendapat perhatian yang sangat besar dari kaum feminis. Novel-novel Jane dianggap sebagai ‘pencerahan’ bagi keterbataan dan keterkungkungan yang dialami para perempuan masa itu. Boleh dikatakan, buah pikiran Jane saat itu melampaui apa yang bisa dicapai kaumnya. Tak heran novel-novelnya abadi hingga sekarang.
            Kalau anda pernah membaca karya-karyanya, anda akan mendapatkan ‘sesuatu’ setelahnya. Bukan hanya kisah romantis ala fairy tale, tapi juga semacam seruan bagi kehidupan kaum perempuan yang lebih bersemangat dan berani menyuarakan isi hatinya.
            Diantara pujian-pujian yang diterimanya, banyak juga kecaman dan kritik pedas yang dialamatkan kepada penulis ini. Salah satunya adalah kecaman bahwa karyanya terlalu banyak memasukkan unsur-unsur parokialinisme. Jane kemudian hari menjawab, bahwa ia memang menyengaja hal ini, karena memang demikianlah sesungguhnya yang terjadi di pedesaan, dimana biasanya kehidupan hanya berkisar di tiga atau empat keluarga saja.
            Novelnya yang paling terkenal dan dicintai sepanjang zaman adalah pride and Prejudice yang diterbitkan tahun 1813, dua tahun setelah Sense and Sensisbility diterbitkan. Novel-novel Jane lainnya yaitu Mansfield Park, Emma,Persuasion, dan Northanger Abbey, diterbitkan antara tahun 1811-1818. Semasa hidupnya, semua novel yang ditulisnya tidak dibubuhi nama pengaranganya. Jadi hanay ditulis”Oleh seorang Lady”, gitu aja. Novel Persuasion dan Northanger Abbey, mungkin merupakan novel pertama yang ditulisnya, justru diterbirkan setelah Jane meninggal tahun 1818. Itu pun setelah saudara lelakinya mengungkapkan bahwa novel itu ditulis oleh Jane.
            Di dalam novel-novelnya,  Jane selalu mengungkapkan dengan ironi simpatik tentang tokoh-tokoh muda dari keluarga mapan yang senantiasa bermasalah dengan urusan perjodohan dan pernikahan. Fokusnya adalah permasalahan sehari-hari yang dialami para tokohnya yang semuanya berasal dari keluarga mapan dan cukup berpendidikan, dari strata menengah ke atas, meski kondisi ekonominya bervariasi. Kebanyakan berasal dari keluarga yang mewarisi tanah luas dan rumah besar di desa,tokoh masyarakat setempat, atau keluarga yang mati-matian berusaha mempertahankan atau meningkatkan status sosialnya. Latar belakang dan alur ceritanya direncanakan secara cermat.
            Pernah suatu ketika, Jane disarankan para pengkritiknya untuk menulis jenis sastra yang lain. Ia menjawab, “Saya tidak dapat lagi menulis kisah yang melulu romantis dan syair kepahlawanan. Saya tidak bisa duduk menulis kisah romantis serius  selain dengan motif mempertahankan kehidupan saya. Dan kalau saya tidak bisa lagi rileks dan dengan leluasa menertawakan diri sendiri dan orang lain, maka saya sudah gantung diri sebelum dapat menyelesaikan bab pertama”.
            Ia pun dengan serius menambahkan, bahwa keahliannya justru terdapat pada batasan-batasan yang dibuatnya sendiri.”Gagang gading kecil selebar dua inci yang saya gunakan untuk menulis memang sedikit menetskan tinta yang berarti. Itupun setelah saya bekerja keras.”
            Kepopuleran novel Jane ternyata sampai ke keluarga kerajaan Inggris. Salah satu penggemar karya-karya Jane adalah Prince of Wales (Putra Mahkota kerajaan Inggris) yang kemudian menjadi Raja George IV, yang sebenarnya dibenci Jane. Tapi ia juga tidak bisa menolak ketika Raja George IV memintanya mendedikasikan novel Emma untuknya.
            Pada musim dingin 1816, Jane terserang penyakit Addison, sebuah penyakit langka yang menyerang kelenjar adrenalin. Saat itu ia baru saja memulai menulis novel terakhir yang memang tak sempat diselesaikannya, yaitu Sanditon. Penyakit ini menmbuatnya tak lagi bisa berjalan-jalan jauh, suatu kegiatan yang sangat dia sukai, dan juga oleh tokoh-tokoh dalam semua novelnya. Hingga ia terpaksa menaiki sebuah kereta yang ditarik seekor keledai untuk berjalan-jalan. Sampai sekarang kereta ini maish dipajang di museum Jane Austen di Chawton.
            Pada bulan Mei 1817, sakitnya bertambah parah, sehingga kakaknya, Cassandra, terpaksa menyewakan kamar-kamar di rumah mereka di Winchester, agar Jane bisa dekat dengan dokter-dokter yang merawatnya. Saat itu, panyakit Jane memang belum bisa disembuhkan. Jane Austen wafat 18 Juli 1817 dalam usia 41 tahun. Ia dimakamnkan di Kathedral Winchester.
            Hingga kini, karya-karya novelis yang konsisten menulis meski dihujani kritik dan kecaman itu ternyata masih abadi. Karyanya juga terbukti sangat mempengaruhi dunia kesusastraan dan perjuangan perempuan. Tak heran, pada tahun 2005 novelnya Pride and Prejudice, terpilih sebagai novel terbaik Inggris sepanjang masa dalam suatu angket/jajak pendapat yang diselenggarakan oleh BBC. Novel ini juga banyak menjadi sumber inspirasi film televisi dan layar lebar, termausk Bridget Jones’ Diary (2001) dan Bride and Prejudice (2004). Pride and Prejudice, serta Emma juga diangkat ke layer lebar dan mendapatkan sambutan yang sangat baik.

            Sejak saya membaca karya-karya Jane Austen, saya sudah kagum padanya. Untuk ukuran novelis perempuan pada zamannya, Jane sudah berpikiran visioner, sangat berpikir ke masa depan. Karya-karyanya selalu membawa semangat bagi perempuan untuk berani menentukan nasibnya sendiri, tidak harus selalu terkungkung pada zaman, Jane juga selalu menceritakan bahwa perubahan selalu dimulai di kalangan masyarakat terpelajar.
            Saya ingin sekali bisa seperti Jane. Karya-karyanya abadi dan selalu membawa pencerahan bagi pembacanya,meski ditulis dengan bahasa yang sederhana dan tidak rumit.
            Bagaimana cara agar saya bisa seperti dia?
            Berbagai hal coba saya lakukan, misalnya; menulis dan terus menulis. Menulis di sini bukan asal dimuat di majalah, menang suatu lomba, atau diterbitkan oleh sebuah penerbit besar. Tulisan saya harus mengandung nilai-nilai yang mencerahkan, harus bisa sampai ke pembaca lengkap dengan amanah moral dan ilmu yang terkandung di dalamnya. Jadi bukan sekedar romantis, lucu gerrr,  seru, seram,dll. Tulisan saya harus mudah difahami pembaca dengan segmen tertentu yang saya tuju. Selain itu tulisan saya harus pula ditulis dalam kondisi ruhiyah dan emosional serta inteletual yang cukup baik dari saya, selaku penulis.
            Setelah menulis, apalagi?
            Menulislah terus, seproduktif mungkin. Semakin banyak saya menghasilkan karya, akan semakin banyak orang yang membaca dan memahami pesan saya akan sebuah peristiwa atau keadaan. Berarti insyaAllah akan makin banyak pencerahan yang diterima oleh lebih banyak orang. Moga-moga, insyaAllah.
            Terakhir, tentu mempertahankan sikap rendah hati dan professional.Jane Austen juga demikian, semakin terkenal dia, namun kehidupannya tak berubah. Ia tetap memilih menulis ketimbang bergaul dengan kaum selebritas, pada saat itu kaum  ningrat, misalnya. Perubahan sikap mental seorang penulis moral, sedikit banyak akan mempengarhui sampai tidaknya pesan yang dia bawa kepada pembacanya.
            Jadi intinya, insyaAllah, dengan izin Allah, mudah-mudahan saya bisa seperti Jane Austen. Baik dari kualitas tulisan maupun dari produktivitas. InsyaAllah.Mudah-mudahan ini bukanlah sebuah bentuk ujub atau apapun namanya. Ini hanya sekedar sebuah motivasi bagi saya sebagai seorang penulis. Juga bagi anda yang ingin menjadi penulis sehebat Jane Austen, salah satu penulis idola saya.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar