Anda pernah baca
“Pride and Prejudice” atau “Sense and Sensibility”? waduh, jangan-jangan denger
namanya aja belum pernah lagi. Hehehe. Itu adalah dua dari sekian karya
legendaris novelis asal Inggris ini. Jane Austen, nama penulis jenius ini,
biasa mengambil setting ceritanya di pedesaan Inggris, menceritakan masyarakat
menengah ke atas pedesaan yang tidak tersentuh hiruk pikuk politik Eropa yang
saat itu lagi kacau-kacaunya.
Dia lahir tanggal
16 desember 1775 di Stevenson, Hampshire, Inggris. Dua puluh lima tahun kehidupan pertamanya dilewatkan di
rumahnya di desa, dimana ayahnya, george Asuten, menjadi kepala pendeta di
gereja di Hampshire. Ia punya lima
saudara lelaki dan seorang kaak perempuan yang amat dekat dengannya. Jane dan kakak perempuannya nyaris tak pernah
tinggal terpisah dari keluarga. Mereka hanya sesekali meninggalkan rumah untuk
berlibur, dan itupun nggak lama-lama.
Jane dan kakak
perempuannya sempat memasuki pendidikan berasrama khusus untuk anak gadis. Tapi
selebihnya, mereka lebih banyak dididik di rumah. Kehidupannya penuh dengan
aturan dan batasan.
Kedua kakak
lelakinya kemudian bergabung dengan Dinas Angkatan laut Inggris, untuk
membendung serangan Napoleon terhadap negeri itu. Sejak saat itu, Jane dan
keluarga mengalami hidup berpindah-pindah dari satu rumah desa ke rumah desa
yang lain. Mereka sempat menetap agak lama di Rath, hingga ayahnya meninggal
tahun 1805.
Setelah itu, Jane
bersama ibu dan kakak perempuannya kembali ke Hampshire dan meentap di
Southampton. Namun pada tahun 1809, kakak lelakinya WEdward, mengundang mereka
untuk tinggal bersamanya. Sejak kecil Edward diangkat anak oleh sepasang suami
istri kaya, keluarga Knights. Dari sini ia mewarisi sebuah rumah besar di
daerah Chawton. Selama delapan setengah tahun tinggal di Chawton inilah,
produktivtas Jane dalam menulis sangat meningkat.
Jane menulis sejak
usia muda, karena ia mencintai kesusastraan. Ia suka membaca buku-buku yang
terdapat di perpustakaan pribadi ayahnya. Ia juga suka main drama bersama
saudara-saudaranya. Pada awal usia dua puluhan ia menulsi narasinya yang
kemudian menjadi sangat terkenal, yaitu Pride and Prejudice, Sense and
Sensibility, dan Northanger Abbey.
Novel Sense and
Sensibility sendiri mengulas tentang berbagai keterbatasan yang dialami oleh
para perempuan Inggris masa itu, untuk lebih bebas menyatakan keingainan dan
menentukan hidupnya sendiri. Karyanya juga memaparkan gaya hidup kalangan terhormat (bangsawan,
tuan tanah, pemilik manor/rumah besar, nyaris seperti istana di desa) masa itu,
terutama kehidupan kontemporer kaum perempuan itu sendiri. Tak heran novelnya
mendapat perhatian yang sangat besar dari kaum feminis. Novel-novel Jane
dianggap sebagai ‘pencerahan’ bagi keterbataan dan keterkungkungan yang dialami
para perempuan masa itu. Boleh dikatakan, buah pikiran Jane saat itu melampaui
apa yang bisa dicapai kaumnya. Tak heran novel-novelnya abadi hingga sekarang.
Kalau anda pernah
membaca karya-karyanya, anda akan mendapatkan ‘sesuatu’ setelahnya. Bukan hanya
kisah romantis ala fairy tale, tapi juga semacam seruan bagi kehidupan kaum
perempuan yang lebih bersemangat dan berani menyuarakan isi hatinya.
Diantara
pujian-pujian yang diterimanya, banyak juga kecaman dan kritik pedas yang
dialamatkan kepada penulis ini. Salah satunya adalah kecaman bahwa karyanya terlalu
banyak memasukkan unsur-unsur parokialinisme. Jane kemudian hari menjawab,
bahwa ia memang menyengaja hal ini, karena memang demikianlah sesungguhnya yang
terjadi di pedesaan, dimana biasanya kehidupan hanya berkisar di tiga atau
empat keluarga saja.
Novelnya yang
paling terkenal dan dicintai sepanjang zaman adalah pride and Prejudice yang
diterbitkan tahun 1813, dua tahun setelah Sense and Sensisbility diterbitkan.
Novel-novel Jane lainnya yaitu Mansfield
Park, Emma,Persuasion,
dan Northanger Abbey, diterbitkan antara tahun 1811-1818. Semasa hidupnya,
semua novel yang ditulisnya tidak dibubuhi nama pengaranganya. Jadi hanay
ditulis”Oleh seorang Lady”, gitu aja. Novel Persuasion dan Northanger Abbey,
mungkin merupakan novel pertama yang ditulisnya, justru diterbirkan setelah
Jane meninggal tahun 1818. Itu pun setelah saudara lelakinya mengungkapkan
bahwa novel itu ditulis oleh Jane.
Di dalam
novel-novelnya, Jane selalu
mengungkapkan dengan ironi simpatik tentang tokoh-tokoh muda dari keluarga
mapan yang senantiasa bermasalah dengan urusan perjodohan dan pernikahan.
Fokusnya adalah permasalahan sehari-hari yang dialami para tokohnya yang
semuanya berasal dari keluarga mapan dan cukup berpendidikan, dari strata
menengah ke atas, meski kondisi ekonominya bervariasi. Kebanyakan berasal dari
keluarga yang mewarisi tanah luas dan rumah besar di desa,tokoh masyarakat
setempat, atau keluarga yang mati-matian berusaha mempertahankan atau meningkatkan
status sosialnya. Latar belakang dan alur ceritanya direncanakan secara cermat.
Pernah suatu
ketika, Jane disarankan para pengkritiknya untuk menulis jenis sastra yang
lain. Ia menjawab, “Saya tidak dapat lagi menulis kisah yang melulu romantis
dan syair kepahlawanan. Saya tidak bisa duduk menulis kisah romantis
serius selain dengan motif
mempertahankan kehidupan saya. Dan kalau saya tidak bisa lagi rileks dan dengan
leluasa menertawakan diri sendiri dan orang lain, maka saya sudah gantung diri
sebelum dapat menyelesaikan bab pertama”.
Ia pun dengan
serius menambahkan, bahwa keahliannya justru terdapat pada batasan-batasan yang
dibuatnya sendiri.”Gagang gading kecil selebar dua inci yang saya gunakan untuk
menulis memang sedikit menetskan tinta yang berarti. Itupun setelah saya
bekerja keras.”
Kepopuleran novel
Jane ternyata sampai ke keluarga kerajaan Inggris. Salah satu penggemar
karya-karya Jane adalah Prince of Wales (Putra Mahkota kerajaan Inggris) yang
kemudian menjadi Raja George IV, yang sebenarnya dibenci Jane. Tapi ia juga
tidak bisa menolak ketika Raja George IV memintanya mendedikasikan novel Emma
untuknya.
Pada musim dingin
1816, Jane terserang penyakit Addison, sebuah
penyakit langka yang menyerang kelenjar adrenalin. Saat itu ia baru saja
memulai menulis novel terakhir yang memang tak sempat diselesaikannya, yaitu
Sanditon. Penyakit ini menmbuatnya tak lagi bisa berjalan-jalan jauh, suatu
kegiatan yang sangat dia sukai, dan juga oleh tokoh-tokoh dalam semua novelnya.
Hingga ia terpaksa menaiki sebuah kereta yang ditarik seekor keledai untuk
berjalan-jalan. Sampai sekarang kereta ini maish dipajang di museum Jane Austen
di Chawton.
Pada bulan Mei
1817, sakitnya bertambah parah, sehingga kakaknya, Cassandra, terpaksa
menyewakan kamar-kamar di rumah mereka di Winchester,
agar Jane bisa dekat dengan dokter-dokter yang merawatnya. Saat itu, panyakit
Jane memang belum bisa disembuhkan. Jane Austen wafat 18 Juli 1817 dalam usia
41 tahun. Ia dimakamnkan di Kathedral Winchester.
Hingga kini, karya-karya
novelis yang konsisten menulis meski dihujani kritik dan kecaman itu ternyata
masih abadi. Karyanya juga terbukti sangat mempengaruhi dunia kesusastraan dan
perjuangan perempuan. Tak heran, pada tahun 2005 novelnya Pride and Prejudice,
terpilih sebagai novel terbaik Inggris sepanjang masa dalam suatu angket/jajak
pendapat yang diselenggarakan oleh BBC. Novel ini juga banyak menjadi sumber
inspirasi film televisi dan layar lebar, termausk Bridget Jones’ Diary (2001)
dan Bride and Prejudice (2004). Pride and Prejudice, serta Emma juga diangkat
ke layer lebar dan mendapatkan sambutan yang sangat baik.
Sejak saya membaca
karya-karya Jane Austen, saya sudah kagum padanya. Untuk ukuran novelis
perempuan pada zamannya, Jane sudah berpikiran visioner, sangat berpikir ke
masa depan. Karya-karyanya selalu membawa semangat bagi perempuan untuk berani
menentukan nasibnya sendiri, tidak harus selalu terkungkung pada zaman, Jane
juga selalu menceritakan bahwa perubahan selalu dimulai di kalangan masyarakat
terpelajar.
Saya ingin sekali
bisa seperti Jane. Karya-karyanya abadi dan selalu membawa pencerahan bagi
pembacanya,meski ditulis dengan bahasa yang sederhana dan tidak rumit.
Bagaimana cara agar
saya bisa seperti dia?
Berbagai hal coba
saya lakukan, misalnya; menulis dan terus menulis. Menulis di sini bukan asal
dimuat di majalah, menang suatu lomba, atau diterbitkan oleh sebuah penerbit
besar. Tulisan saya harus mengandung nilai-nilai yang mencerahkan, harus bisa
sampai ke pembaca lengkap dengan amanah moral dan ilmu yang terkandung di
dalamnya. Jadi bukan sekedar romantis, lucu gerrr, seru, seram,dll. Tulisan saya harus mudah
difahami pembaca dengan segmen tertentu yang saya tuju. Selain itu tulisan saya
harus pula ditulis dalam kondisi ruhiyah dan emosional serta inteletual yang
cukup baik dari saya, selaku penulis.
Setelah menulis,
apalagi?
Menulislah terus,
seproduktif mungkin. Semakin banyak saya menghasilkan karya, akan semakin
banyak orang yang membaca dan memahami pesan saya akan sebuah peristiwa atau
keadaan. Berarti insyaAllah akan makin banyak pencerahan yang diterima oleh
lebih banyak orang. Moga-moga, insyaAllah.
Terakhir, tentu
mempertahankan sikap rendah hati dan professional.Jane Austen juga demikian,
semakin terkenal dia, namun kehidupannya tak berubah. Ia tetap memilih menulis
ketimbang bergaul dengan kaum selebritas, pada saat itu kaum ningrat, misalnya. Perubahan sikap mental
seorang penulis moral, sedikit banyak akan mempengarhui sampai tidaknya pesan
yang dia bawa kepada pembacanya.
Jadi intinya,
insyaAllah, dengan izin Allah, mudah-mudahan saya bisa seperti Jane Austen. Baik
dari kualitas tulisan maupun dari produktivitas. InsyaAllah.Mudah-mudahan ini
bukanlah sebuah bentuk ujub atau apapun namanya. Ini hanya sekedar sebuah
motivasi bagi saya sebagai seorang penulis. Juga bagi anda yang ingin menjadi
penulis sehebat Jane Austen, salah satu penulis idola saya.