Nabi
Shaleh as masih keturunan Sam bin Nuh as. Dia diutus Allah swt untuk berdakwah
kepada kaum Tsamud yang masih sama-sama keturunan Sam bin Nuh. Silsilahnya
Shaleh bin Abaid bin Asaf bin Masyih bin Abid bin Hadzir bin Tsamud bin Shaleh
bin Arfashad bin Sam bin Nuh. Kalau silsilahnya Tsamud itu: Tsamud bin 'Ad bin
Irmi bin Shaleh bin Arfashad bin Sam bin Nuh. Coba deh kamu bikin silsilah
keluargamu, ribet nggak?
Dia adalah Shaleh putra ‘Ubaid bin Asaf. Nasabnya
bersambung hingga Sam bin Nuh. Shaleh diutus oleh Allah pada satu kabilah Arab
yang telah punah, yaitu kabilah Tsamud. Kabilah ini dinamakan Tsamud karena
dinisbatkan pada salah satu kekek mereka yang bernama Tsamud bin ‘Amir, salah
seorang putra Sam bin Nuh.
Menurut satu pendapat, bangsa Arab yang hidup sebelum
nabi Isma’il AS disebut Arab al-‘Aribah.
Mereka terdiri dari banyak kabilah, di antaranya Tsamud, Jurhum, Madyan,
Qahthan, dan seterusnya.
Adapun bangsa Arab Musta’ribah
adalah anak keturunan Isma’il bin Ibrahim. Jadi, nabi Isma’il adalah orang
pertama yang menggunakan bahasa Arab fushha
yang baligh. Beliau mempelajari bahasa Arab dari kabilah Jurhum yang hidup
bersama ibunya, Hajar, di Mekah.[1]
Ini artinya kabilah Tsamud ada sebelum Isma’il AS dan mereka termasuk bangsa
Arab al-‘Aribah.
Tempat tinggal kaum Tsamud
Pemukiman kaum Tsamud berada di daerah Hijr, karena itu
Allah menamai mereka dalam al-Qur’an Ashab
al-Hijr (penduduk kota
Hijr). Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya
penduduk-penduduk kota
al-Hijr telah mendustakan rasul-rasulnya. Kami telah mendatangkan kepada mereka
tanda-tanda kekuasaan Kami, tetapi mereka selalu berpaling darinya.” (Qs.
Al-Hijr: 80-81)
Adapun daerah Hijr sendiri terletak di antara Hijaz dan
Syam. Daerah ini sering dilewati oleh para musafir yang melalui jalur darat.
Daerah ini sekarang terkenal dengan nama “Fajj an-Naqah”. Peninggalan purbakala
berupa bangunan kaum Tsamud masih ada hingga kini dan dinamankan “Mada’in
Shaleh” (Kota-kota nabi Shaleh).
Al-Mas’udiy berkata, “Bangunan-bangunan kaum Tsamud masih
tersisa dan peninggalan mereka terlihat di jalur yang dilewati orang dari Syam.
Hijr kaum Tsamud berada di sebelah tenggara Madyan, berdekatan dengan teluk
al-‘Aqabah.”
Asal-usul kaum Tsamud
Sebagian sejarawan orientalis berpendapat bahwa kaum
Tsamud adalah bangsa Yahudi yang tinggal di sekitar wilayah Hijr dan belum
masuk ke daerah Palestina. Pendapat orientalis ini keliru, karena bangsa Yahudi
belum dikenal kecuali setelah Musa AS keluar bersama bani Isra’il dari negeri
Mesir. Bagaimana mungkin kaum Tsamud itu bangsa Yahudi?
Pendapat yang paling shahih adalah bahwa kaum Tsamud
adalah orang-orang Arab dari kaum ‘Ad yang masih tersisa. Pendapat ini
diperkuat dengan firman Allah melalui lisan nabi-Nya, Shaleh AS :
“Dan ingatlah
olehmu di waktu Tuhan menjadikanmu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah
kaum ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di
tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan
rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka
bumi membuat kerusakan.” (Qs. Al-A’raf: 74)
Ibnu Katsir menulis: “Mereka adalah kabilah terkenal yang
disebut Tsamud sesuai dengan nama kakek mereka, Tsamud saudara Judais. Kaum
Tsamud termasuk bangsa Arab al-‘Aribah
yang tinggal di daerah Hijr, yang terletak di antara Hijaz dan Tabuk.
Rasulullah pernah melewati tempat ini ketika beliau pergi ke Tabuk bersama kaum
muslimin. Di saat mereka sampai di Hijr di sekitar bekas pemukiman kaum Tsamud,
orang-orang meminta minuman dari tempat (periuk) yang dulu digunakan oleh kaum
Tsamud. Mereka membuat adonan dan memasak dengan alat itu. Ketika Rasulullah
mengetahui kejadian itu, beliau menyuruh mereka menumpahkan air yang ada dalam
periuk-periuk itu dan memberikan adonannya kepada unta. Beliau kemudian
melanjutkan perjalanan hingga sampai ke sebuah sumur yang biasa digunakan untuk
memberi minum unta, Rasulullah berkata pada para sahabat –seperti tertuang
dalam as-Shahihain--, “Jangan masuk
ke (tempat-tempat) orang yang telah diazab ini, kecuali kalian menangis. Jika
kalian tidak menangis, maka jangan masuk ke tempat mereka (karena aku khawatir)
kau akan terkena azab yang telah mereka rasakan.” (HR. Bukhari Muslim)
Adapun tentang kapan masa keberadaan kaum Tsamud tidak
diketahui dengan pasti. Hanya saja, yang jelas mereka ada setelah kaum ‘Ad,
seperti keterangan ayat di atas, sebelum tahun miladiyah (kelahiran ‘Isa) dan
sebelum zaman Musa AS. Hal ini berdasarkan argumen pernyataan
seorang mukmin dari keluarga Fir’aun yang mengancam kaumnya dengan azab Allah:
“Dan orang yang
beriman itu berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa
(bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu. (Yakni) seperti
keadaaan kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hambanya.”
(Qs. Ghafir: 30-31)
Di antara tokoh yang menolak pendapat orientalis, yang
menyatakan bahwa kabilah Tsamud berasal dari bangsa Yahudi, adalah Syaikh Abdul
Wahhab an-Najjar dalam bukunya, Qishash
al-Anbiya’.
Kaum
Tsamud tinggal di daerah Hadramaut, yaitu daratan antara Yaman dan Syria.
Sebagian menafsirkan daerah itu bernama Wadil Qura, sebagian lagi mengatakan
desa Al Hijr adalah tempat tinggal kaum Tsamud.
Mereka
jago banget bertani, beternak, dan membuat bangunan. Mungkin kalau sekarang
namanya insinyur pertanian, peternakan, dan sipil kalee. Kaum Tsamud hidup
makmur dan mewah.
Bentuk fisik mereka juga tangguh dan
kuat. Umurnya sangat panjang. Awalnya mereka membangun rumah dari pohon dan
cabang-cabangnya, tapi suka keburu roboh duluan. Mereka jago memahat gunung
batu menjadi bangunan yang cantik. Rumah mereka banyak berdiri di tebing-tebing
pegunungan yang cantik.
Sayangnya mereka suka foya-foya,
berzina, dan berlaku zalim. Hukum yang dipakai adalah hukum rimba, siapa yang
kuat, dia yang menang.
Mereka mencari Tuhan, namun
sayangnya keliru menemukan tuhannya. Mereka membuat Tuhan dari barang-barang
karya cipta sendiri. Jadilah mereka penyembah berhala.
Waktu Nabi Shaleh as mencoba
mengingatkan, mereka malah balas mencemooh. Mereka minta Nabi Shaleh
menunjukkan, kayak apa sih wujud Tuhan itu. Mereka juga mengatakan kalau Nabi
Shaleh itu udah gila, kena sihir, atau kesurupan.
Karena itu Nabi Shaleh berdoa kepada
Allah, mohon diberi mukjizat. Allah memerintahkan Nabi Shaleh memukulkan
tangannya pada sebuah batu besar. Subhanallah... muncullah seekor unta USYARAH
(UNTA YANG BERUMUR DELAPAN SAMPAI SEPULUH BULAN) yang gemuk dan bagus.
Kandungan susunya juga banyak. Unta betina itu malah langsung melahirkan
anaknya di situ. Langsung deh kaumnya
berdecak kagum. Bahkan seorang tokoh masyarakat bernama Jundu bin 'Amr langsung
menyatakan keimanannya, saking takjubnya.
Nabi Shaleh sudah bilang jauh-jauh
hari, jangan ada yang mengganggu itu unta. Soalnya itu unta kan mukjizat dari
Allah. Takutnya kalau unta itu diganggu, Allah akan murka.
Sejak itu sang unta hidup
berpindah-pindah kemana dia suka. Setiap hari ada saja orang yang mengambil
susunya. Herannya, susu unta itu tetap banyak, malah nggak habis-habis.
Unta itu dan anaknya suka minum air
di telaga. Bahkan menghabiskan isi telaga itu. Ajaibnya air danau itu naik lagi
dengan sendirinya. Unta itu setiap berangkat dan pulang dari danau selalu lewat
jalan yang beda-beda.
Kenapa unta menjadi mukjizat nabi
Shaleh?
Unta
nabi Shaleh memiliki beberapa mukjizat menakjubkan yang benar-benar menunjukkan
kebenaran beliau. Unta tersebut merupakan tanda kekuasaan yang agung dan
mukjizat bersinar dari sisi Allah. Letak kemukjizatan unta nabi Shaleh di
antaranya:
Pertama:
unta tersebut keluar dari batu besar yang nota bene adalah benda mati.
Bagaimana mungkin binatang lahir dari batu?
Kedua: unta tersebut minum
seluruh air minum kabilah “Ia mempunyai
giliran untuk mendapatkan air, dan kamu mempunyai giliran pula untuk
mendapatkan air di hari tertentu.” (Qs. As-Syu’ara’: 155). Seekor unta yang
menghabiskan air minum satu umat merupakan suatu yang menakjubkan.
Ketiga: unta nabi Shaleh
memberikan susu perah kepada seluruh kabilah menurut kadar air yang diminumnya.
Ini juga merupakan suatu yang menakjubkan.
Imam
ar-Razi berkata, “Ketahuilah, al-Qur’an mengindikasikan bahwa dalam unta nabi
Shaleh terdapat tanda kekuasaan Allah. Adapun keterangan bahwa unta tersebut
mempunyai pertanda tertentu itu tidak disebutkan. Allah berfirman: ‘Unta betina ini menjadi tanda bagimu, maka
biarkanlah dia makan di bumi Allah, jangan kamu mengganggunya dengan gangguan
apapun, maka kamu ditimpa siksaan yang pedih.” (Qs. Al-A’raf: 73)
Pertanda
kemukjizatan ini merupakan bukti yang jelas atas kebenaran nabi Shaleh, sesuai
permintaan kaum Tsamud. Mereka berjanji jika Shaleh bisa membelah batu dan
mengeluarkan darinya seekor unta, maka mereka akan mengikuti dan mengimani
beliau.
Ibnu
Katsir menulis, “Para mufassirin menuturkan,
bahwa pada suatu hari kaum Tsamud berkumpul di tempat perkumpulan. Kemudian
Shaleh datang berdakwah mengajak mereka untuk menyembah Allah, mengingatkan,
menyadarkan, dan memberi petuah. Tapi mereka malah berkata, “Jika engkau bisa
mengeluarkan dari batu besar ini –sambil menunjuk batu tersebut—seekor unta
hamil, yang mempunyai sifat ini dan itu, kami akan beriman dan membenarkanmu.
Nabi Shaleh menerima janji mereka, kemudian beliau segera pergi ke mushalla,
lalu shalat dan berdoa kepada Allah agar Dia memenuhi permohonan kaumnya. Allah
mengabulkan doanya. Tiba-tiba batu besar itu terbuka dan keluarlah seekor unta
sangat besar yang sedang hamil menurut sifat-sifat yang diinginkan. Ketika kaum
Tsamud menyaksikan dengan mata kepala unta tersebut, mereka melihat suatu yang
agung, pemandangan yang aneh, kekuasaan
luar biasa, argumen yang mematikan, dan
bukti yang nyata, maka sebagian mereka beriman. Sedang sebagian besar lainnya
tetap dalam kekufuran, kesesatan, dan perlawanan. “Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang
dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu.” (Qs. Al-Isra’:
59).
Tapi,
ada saja yang tidak suka pada unta itu. Suatu malam mereka mengadakan 'meeting'
untuk membunuh unta itu. Akhirnya seorang pemuda kafir berbadan tegap, Quddar
bin Salif, diutus untuk mengeksekusi si
unta.
Sebenarnya kisah ini dimulai dari
seorang laki-laki bernama Shunaim bin Harawah yang menikahi perempuan kaya raya
bernama Shaduq. Namun ketika Shunaim beriman, Shaduq tetap kafir. Shaduq
menyembunyikan anak-anaknya agar nggak terpengaruh bapaknya.
Berkat bantuan paman Nabi Shaleh
yang telah beriman, Shunaim bisa menemukan anak-anaknya lagi. Akibatnya Shaduq
makin dendam terhadap Nabi Shaleh.
Ia bertemu dan akhirnya bersahabat
dengan Unizah binti Ghanam yang juga dendam sama Nabi Shaleh. Gara-garanya,
kambing Unizah suka ngibrit kalau ketemu unta ajaib itu. Lagipula si kambing
suka nggak kebagian air di telaga karena sudah disedot si unta.
Mereka berdua sepakat membunuh unta
itu. Sayangnya, biarpun diiming-imingi uang, nggak ada yang mau membunuh unta
itu. Tapi saat mereka bertemu dengan Mushaddi bin Mahraj, seorang pemuda,
ternyata Mushaddi menyanggupinya. Terang aja, sebenarnya si Mushaddi ini suka
sama Shaduq. Jadi ini dalam rangka pedekatenya dia lah.
Mushaddi mengajak sahabatnya yang
bernama Quddar bin Salif, tokoh paling jahat di situ. Mereka mengumpulkan
sembilan orang yang sama-sama benci sama Nabi Shaleh.
Pagi harinya, unta itu muncul di
dekat telaga dan langsung disambut orang-orang yang mau memerah susunya. Ketika
orang-orang sudah bubar, barulah si pemuda kafir membunuh unta.
Kesembilan orang yang benci sampai
ke ubun-ubun sama Nabi Shaleh itu sebelumnya sempat berencana membunuh beliau
diam-diam.
Nabi Shaleh selalu tidur di dalam
masjid yang disebut Masjid Shaleh bersama kaumnya. Waktu beliau keluar untuk
menemui kaumnya, selesai Shubuh, mereka menjalankan aksinya. Alhamdulillah
upaya itu berhasil dihalangi para malaikat. Para penjahat itu dilempari batu
sampai terbirit-birit. Nah, baru deh mereka membunuh unta itu dengan cara
dipanah. Unta itu dikenai panah tepat di lehernya. Habis itu mereka mencincang
dan memakan unta itu sampai habis.
Nabi Shaleh tentu saja marah sekali
mengetahui untanya dibunuh. Si pemuda malah menantang balik, katanya gara-gara
unta itu, telaga jadi butek. Alasan sebenarnya sih, yang bikin mereka itu
gondok, mereka takut gara-gara 'unta ajaib' itu makin banyak saja yang beriman
kepada Allah.
Bahkan mereka menantang Nabi Shaleh
untuk membuktikan azab Allah. Berani banget ya?
Akan halnya orang-orang beriman
menangis karena takut pada azab Allah. Nabi Shaleh menyuruh mereka mencari si
anak unta, sebab barangkali bisa mencegah murka Allah.
Ternyata si anak unta sudah masuk
kembali ke tempat ia dan ibunya berasal, yaitu ke dalam batu besar. Sebelumnya
ia meraung dengan suara keras.
Hari pertama dan kedua memang nggak
ada kejadian apa-apa. Mereka makin merasa senang.
Paling-paling ada tanda kecil. Hari
pertama wajah mereka menjadi kekuning-kuningan. Mereka saling ledek-ledekan.
Hari kedua, malah berubah jadi kemerah-merahan. Sebagian dari mereka mulai
yakin kalau ini siksa dari Allah. Tapi yang masih kafir tetap keukeuh. Hingga
hari ketiga wajah mereka jadi menghitam legam.
Pada hari ketiga inilah, Allah
menyempurnakan azab-Nya. Langit menjadi gelap, membuat mereka panik. Sementara
Nabi Shaleh dan ummatnya yang beriman sudah duluan menyelamatkan diri.
Orang-orang itu mulai ketakutan.
Mereka membalsem tubuh dan saling menutupi dengan temannya. Mereka ramai-ramai
berbaring di tanah menunggu azab.
Mereka menemui ajalnya karena
disambar petir yang sangat keras. Belum cukup sampai di situ, mereka diguncang
gempa hebat dan mati di rumah mereka sendiri.
Nggak ada yang selamat dalam bencana
itu, kecuali seorang perempuan. Ia menyelamatkan diri dan kemudian minum air
dari telaga. Ia kemudian meninggal kelelahan.
Pada perang Tabuk, Rasulullah saw
dan para sahabat sempat melewati bekas perkampungan kaum Tsamud. Kaum muslimin
minum air dari sumur di situ. Namun Nabi melarangnya dan menyuruh mereka minum
dari sumur bekas tempat unta Nabi Shaleh minum.
Saat melewatinya Rasul dan para
sahabat sempat menangis karena berharap peristiwa kaum Tsamud tidak terulang
pada kaum muslim.
Ayat-ayat
tentang Nabi Shaleh as:
Hud
61-63, Al Qamar 27-28, Asy Syu'araa 155-159, Al A'raaf 77-78, Hud
65, An Naml 48-72, dan Adz Dzariyaat 44.