Di
tengah perjalanan, Allah swt mengangkat Musa dan saudaranya, Harun, menjadi
Nabi bagi kaum Bani Israil dan kaum Firaun. Keduanya membawa perintah Allah swt
untuk mengajak seluruh kaum Bani Israil dan Firaun hanya beribadah kepada Allah
swt saja. Tentu saja ini tugas yang sangat berat bagi keduanya, namun keduanya
harus segera melaksanakannya.
Setelah perjalanan yang cukup jauh
itu, mereka tiba di Mesir yang masih dikuasai oleh Firaun dengan sikap sombong
dan zalimnya. Musa dan Harun pantang menyerah untuk melaksanakan tugas dakwah
dari Allah swt tersebut. Meskipun untuk itu, mereka harus menghadapi sikap
Firaun yang menjengkelkan.
Suatu hari yang cerah, Firaun
mengadakan sebuah perayaan yang tujuan sebenarnya adalah untuk menunjukkan
kebesaran dan kekuasaannya, agar menggentarkan hati Musa dan Harun. Pada
perayaan megah itu, tak lupa ia mengundang semua tukang sihirnya untuk
menandingi ‘shir’ Musa, yang sebenarnya adalah mukjizat dari Allah swt untuk
Nabi yang dipilih-Nya. Mukjizat Musa tersebut adalah tongkatnya yang bisa
berubah menjadi ular.
Dengan congkak, Firaun menantang Musa,
“Mana, coba buktikan kalau engkau memang utusan Tuhanmu? Ayoo, masa engkau tak
punya kehebatan sedikitpun. Mana mau kami percaya pada manusia biasa
sepertimu?”
Para tukang sihir Firaun maju ke
tengah lapangan istana, mereka menyihir tongkat-tongkat mereka menjadi ratusan
bahkan ribuan ular-ular kecil. Penonton menjerit-jerit dan berlarian ketakutan,
terutama perempuan dan anak-anak. Dalam hati mereka yang ketakutan, mereka
mengakui kehebatan Firaun dan tukang-tukang sihirnya.
Kini tiba giliran Musa. Dengan tenang
dan membaca basmalah terlebih dahulu, ia memohon pertolongan kepada Allah swt
agar dimudahkan menghadapi kaum Firaun yang buta mata dan hatinya itu.
Dengan pertolongan Allah swt…ajaib….
Tongkat Nabi Musa seketika itu juga
berubah menjadi ular yang sangat besar dan memakan semua ular-ular kecil yang
bertebaran. Seluruh penonton bersorak dan berseru kagum.
“Waah, itu ularnya hebat ya, bisa
memakan semua ular kecil”, seru seorang anak.
“Bukaan, yang hebat itu ya Musa, bukan
ularnya”, sahut ibunya.
“Ya salah semua. Yang hebat adalah
Tuhannya Musa, yang memberikan kekuasaan pada Musa untuk mendatangkan ular dari
tongkatnya”, sambut sang ayah.
“Kalau begitu Firaun sih enggak ada
apa-apanya ya, Yah?” Tanya sang anak.
“Betul. Mari kita mengikuti iman Nabi
Musa. Tuhannya pasti jauh lebih berkuasa dari Firaun sombong itu”, jawab sang
ayah, penuh semangat.
Ternyata tak hanya keluarga itu saja
yang menyatakan keimanan kepada Musa, tetapi banyak lagi rakyat Firaun yang
juga ingin mengikuti Musa. Diantaranya bahkan ada beberapa tukang sihir Firaun.
Hal ini membuat Firaun sangat murka.
“Hai Musa dan Harun, kalian kira
kalian memenangkan pertarungan ini ya? Kalian salah! Kalian pasti menyesal!
Setelah ini akan ada pembuktian bahwa hanya akulah yang layak kalian sembah.
Bukannya Tuhan kalian itu!”
Tak lupa untuk melengkapi
kemarahannya, Firaun memerintahkan seluruh tukang sihir yang beriman kepada
Musa untuk disalib saat itu juga. Para rakyat berhamburan ketakutan, tak mau
menjadi korban berikutnya. Suasana pesta yang diharapkan akan menambah wibawa
Firaun kini hancur berantakan.
Sementara itu di balik jendela
kamarnya di istana megah, Asiyah menyaksikan semua kejadian dengan perasaan
yang campur aduk. Ia bahagia, dan bersyukur bahwa Musa selamat dan dapat
‘mengatasi’ ujian dari Firaun. Ia juga merasa bersyukur bahwa ia kini beriman
kepada Tuhannya Musa, Tuhan yang sejak dulu sebenarnya sudah ada di dalam
hatinya. Ia juga sedih melihat banyaknya korban akibat kekejaman suaminya. Dan
tentu saja, ia marah dan kecewa sekali pada suaminya yang tak juga membuka
hatinya untuk beriman.
Di istana Firaun, sejak saat itu,
mulai terjadi perubahan. Beberapa pengawal dan dayang istana beriman kepada
Tuhannya Musa. Termasuk tukang sisir anak gadis Firaun yang bernama Masyitah.
Masyitah adalah seorang istri dan ibu, perempuan sederhana yang berhati mulia.
Masyitah cukup dekat dengan Asiyah.
Lama kelamaan, anak gadis Firaun mulai
curiga kepada Masyitah. Ia kemudian mendapat info tentang keimanan Masyitah,
sehingga terbuktilah kecurigaannya. Dengan marah, ia mengadu kepada ayahnya
bahwa tukang sisirnya sudah berkhianat.
Belum habis kekesalan Firaun, ia
segera memanggil paksa Masyitah dan anak-anaknya. Masyitah diseret kehadapannya
dengan seluruh tubuh dirantai. Dengan keras Firaun bertanya, “Siapa Tuhanmu?”
Masyitah menjawab dengan tenang sambil
berdoa di dalam hati, “TUhanku dan Tuhanmu itu sama, satu, yaitu Allah Yang
Mahaperkasa”.
Sudah tak tertahankan lagi amarah
Firaun mendengar jawaban Masyitah. Segera ia memerintahkan satu persatu anak
Masyitah dimasukkan ke dalam sebuah wajan yang sedang dipanaskan dengan api
yang menyala-nyala.
Melihat ini, Masyitah menangis tak
henti sambil terus berdoa mohon pertolongan Allah. Hingga bayi yang ada di
dalam pelukannya, diambil paksa pula oleh seorang tentara Firaun. Masyitah
menjerit pilu.
Namun dengan izin Allah swt, bayi itu
tiba-tiba berkata, “Jangan bersedih ibu, sesungguhnya ibu berada di dalam
kebenaran”.
Tak lama, habislah seluruh keluarga
Masyitah masuk ke dalam wajan dan terpanggang di dalamnya.
Asiyah menyaksikan semua itu dengan
mata kepalanya sendiri, dan tak bisa melakukan apapun, karena ia terlalu shock.
Ia pingsan. Sebelum pingsan, ia sempat bergumam, “Tiada daya dan upaya,
melainkan dengan pertolongan Allah semata…” Berkali-kali ia mengucapkan kalimat
yang kita kenal dengan kalimat hawqalah itu.
Para dayang segera membawa kembali
Asiyah ke kamarnya, namun ucapan doa itu sempat terdengar oleh Haman. Orang
inilah yang kembali mengadukan Asiyah kepada Firaun.
Dengan marah, Firaun mendatangi kamar
istrinya dan memaksa istrinya bangun. Ia mengancam istrinya akan melakukan
kekejaman yang sama seperti terhadap Masyitah dan keluarganya, namun Asiyah
tetap bertahan. Beberapa tentara Firaun dengan cepat mengikat tubuh Asiyah yang
sedang lemah. Tanpa hati dan perasaan, Firaun mencambuki tubuh istrinya.
Sebelum kembali pingsan, Asiyah sempat
berdoa dengan tegar, “Ya Allah, buatkanlah untukku sebuah istana di sisi-Mu di
dalam syurga, serta selamatkanlah aku dari Firaun dan kekejamannya”.
Allah swt berfirman, “Dan Allah telah
membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Firaun, ketika dia
berkata, Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di dalam
syurga dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim” (QS At Tahrim ayat 11).
Beberapa masa kemudian, ketika
Rasulullah saw sudah diangkat menjadi Nabi, Allah swt mengabarkan bahwa Asiyah
sudah berada di syurga-Nya. Rasulullah saw bersabda, “sebaik-baik perempuan di
bumi ini ada empat, yaitu Maryam binti Imran, Asiyah istrinya Firaun, Khadijah
binti Khuwailid, dan Fathimah binti Muhammad”.
Trivia
tentang Asiyah
1. Asiyah
tidak pernah punya anak dari Firaun, adapun anak gadis Firaun yang diceritakan
di atas adalah anak Firaun dari istrinya terdahulu yang sudah meninggal dunia.
2. Asiyah
meninggal dunia tidak lama setelah siksaan yang ia peroleh dari Firaun dalam
keadaan sakit.
3. Asiyah
dan Masyitah berteman dekat sejak Hezekil (Hazaqil), suami Masyitah dihukum mati
dengan dipanah dan diikat pada sebuah pohon. Hazaqil dihukum mati, karena
sebagai pegawai istana, ia menentang hukuman mati kepada para tukang sihir yang
beriman kepada Musa.
4. Ada
beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Asiyah meninggal pada saat disalib oleh
suaminya yang kejam itu dan punggungnya dirantai dengan besi.
5. Ada
beberapa riwayat juga yang mengatakan bahwa Masyitah terbuka keimanannya ketika
ia melaknat Firaun saat sisir yang dipakainya untuk menyisir rambut anak gadis
Firaun terjatuh. Bahkan ada riwayat juga yang menyatakan bahwa Asiyah
sendirilah yang menyisir rambut anak tirinya itu. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar